Sumber Artikel Internet

Jumat, 20 Desember 2013

Tokoh-tokoh Ini Anggota Freemasonry? - 3 (Tamat)


Tokoh yang satu ini bersama musikus Ahmad Dhani, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Yapto Soerjosumarno, dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere pada Mei 2011 menjadi sasaran teror bom buku, namun selamat. Dari nama organisasi yang dipimpinnya, Jaringan Indonesia Liberal (JIL), tak ada yang menyangsikan kalau anak muda ini antek Freemasonry.


Ulil Abshar Abdalla

Pendirian JIL berawal dari kebiasaan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu No 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001. Setelah JIL didirikan, tempat ini menjadi markas. Para pemikir muda lain seperti Lutfi Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, dan Saiful Mujani, menyusul bergabung. Ulil kemduai ditunjuk sebagai koordinator.

Gelora JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya para mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik,” tulis situs islamlib.com.


JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru kampanye” Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).

Jaringan ini menerbitkan koran, radio, buku, booklet, dan website bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya kepada publik. Kegiatan pertamanya adalah diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal.

Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.

Dalam situs islamlib.com dijelaskan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia. Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil kekerasan.

JIL tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga lugas mengungkapkan ide-ide “gila”-nya. Gaya kampanyenya menggebrak, menyalak-nyalak, dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada artikel kontroversial Ulil di Kompas yang dituding Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) telah menghina lima pihak sekaligus: Allah, Nabi Muhammad, Islam, ulama, dan umat Islam. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif,” kata Ulil.

Dengan gaya demikian, reaksi bermunculan. Tahun 2002 bisa dicatat sebagai tahun paling polemis dalam perjalanan JIL. Spektrumnya beragam: mulai reaksi ancaman mati, somasi, teguran, sampai kritik berbentuk buku. Teguran, misalnya, datang dari rekomendasi (taushiyah) Konferensi Wilayah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 11-13 Oktober 2002. Bunyinya: “Kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada warga NU mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam masyarakat. Apabila pemikiran Islam Liberal dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi, baik berupa teguran keras maupun sanksi organisasi (sekalipun dianulir dari kepengurusan).”

Somasi dilancarkan Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia, Fauzan al-Anshari, kepada RCTI dan SCTV, pada 4 Agustus 2002, karena menayangkan iklan “Islam Warna-warni” dari JIL. Iklan itu pun dibatalkan. Kubu Utan Kayu membalas dengan mengadukan Fauzan ke polisi.

Sementara kritik metodologi datang, salah satunya, dari Haidar Bagir, Direktur Mizan, Bandung. Ia menulis kolom di Republika edisi 20 Maret 2002: “Islam Liberal Butuh Metodologi”. JIL dikatakan tak punya metodologi. Istilah ”liberal”, Haidar menulis, cenderung menjadi ”keranjang yang ke dalamnya apa saja bisa masuk”. Tanpa metodologi yang jelas akan menguatkan kesan, Islam liberal adalah ”konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri”.


Reaksi berbentuk buku, selain buku "Bahaya Islam Liberal" karya Hartono, ada pula buku Adian Husaini, "Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya" (Jakarta, Juni 2002). Ada tiga agenda JIL yang disorot: pengembangan teologi inklusif-pluralis dinilai menyamakan semua agama dan mendangkalkan akidah; isu penolakan syariat Islam dipandang bagian penghancuran global; upaya penghancuran Islam fundamentalis dituding bagian proyek Amerika atas usulan zionis Israel.

Buku lain, karya Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Jakarta, Agustus 2003). Isinya, kumpulan perdebatan Adnin dengan para aktivis JIL di milis Islam liberal. Energi personel JIL akhirnya memang tersedot untuk meladeni berbagai reaksi sepanjang 2002 itu. Mulai berbentuk adu pernyataan, debat ilmiah, sampai balasan mengadukan Fauzan ke polisi. Tapi, semuanya justru melejitkan popularitas kelompok baru ini.

Menjelang akhir 2003, hiruk-pikuk kontroversi JIL cenderung mereda. Nasib aduan FUUI dan aduan JIL terhadap Fauzan ke Mabes Polri pun menguap begitu saja. Dalam suasana lebih tenang, JIL mulai menempuh fase baru yang lebih konstruktif, tak lagi meledak-ledak.


Antek Yahudi


Pelesetan JIL.
Liberalisme merupakan doktrin yang dikembangkan Freemasonry. Seperti halnya doktrin lain yang dikembangkan organisasi Yahudi tersebut, liberalisme juga mengusung tujuan dan cita-cita yang sama, yakni memasarkan doktrin humanisme. Karenanya bagi mereka, atas nama kemanusiaan universal, kelompok penoda Islam seperti Ahmadiyah pun harus dibiarkan, tak boleh diganggu gugat.
Paham humanisme adalah doktrin pokok kelompok Freemason. Dalam khoms qanun (lima kanun) yang dijadikan pegangan Freemason, humanisme adalah asas terpenting. Doktrin halus humanisme menyatakan, pengabdian terhadap kemanusiaan harus disertai dengan upaya membuang jauh-jauh sekat-sekat agama. Humanisme menjadi cita-cita tertinggi kelompok Freemason dalam memasarkan ide-idenya untuk tujuan merusak semua agama-agama, termasuk Islam.

Jargon-jargon humanisme, seperti liberalisme dan pluralisme, terkesan bagus dan memikat karena mendorong terciptanya persaudaraan antarumat manusia, kemanusiaan yang universal, kecintaan terhadap prikemanusiaan, persamaan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya tidak begitu karena ada agenda tersembunyi di baliknya. Bagi kelompok Mason, sebuah tatanan dunia yang mengedepankan moralitas bisa terwujud tanpa peran agama. Mereka menyebutnya sebagai ”moralitas tanpa agama”. Bagi para pemuja humanisme, agama tak berhak mengatur urusan moral, dan aturan moralitas bisa terbangun berdasarkan kesepakatan manusia. Karena itu, tak ada yang bisa mengintervensi kehendak manusia dalam bersikap dan berperilaku, termasuk negara dan bahkan Tuhan sekalipun. Humanisme jelas mengabdi pada kemanusiaan.

Paham humanisme mengganggap manusia sebagai makhluk ”superior’ yang berhak menentukan hak-haknya sendiri, termasuk dalam menentukan hukum dalam kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan dalam doktrin Freemason menjadi ”superior” dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama. Ajaran-ajaran dalam agama, jika bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka harus ditolak. Mereka yang mengusung paham humanisme menganggap tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah kodrat alam.

Spanduk menolak eksistensi JIL.
Di Amerika, Ron Paul, kandidat presiden pesaing Barack Obama, bahkan merasa perlu mengeluarkan pernyataan begini; "I am not and never have been a Mason". di Indonesia, sepertinya masalah Mason/ Freemason tidak dianggap menganggu ...

menurut ustad Abu Bakar Ba”asyir, orang Islam pada zaman nabi juga menganut pluralitas, tapi bagaimana mengaturnya? beliau menjelaskan, “Yang berlaku harus hukum Islam, orang kafir boleh hidup di bawahnya, hukum islam yang urusannya ritual berlaku hanya untuk orang Islam saja, orang kafir tidak, tapi hukum Islam yang urusannya untuk peraturan umum berlaku untuk semua, begitulah Islam”. Jadi menurut ustad Abu, orang yang berfaham pluralisme adalah murtad, apalagi faham demokrasi.

Maka insya Allah pendapat saya, keyakinan saya Mr Dur (Gus Dur-red) itu murtad, tapi saya tidak memaksa orang berkata begitu. Itu insya Allah berdasarkan dalil-dalil yang kuat dan saya siap diskusi dengan tokoh NU, kyai atau siapa saja, saya tantang diskusi untuk persoalan ini, kalau perlu mubahalah”, tandas ustad Abu Ahad. (tamat)

Tokoh-tokoh Ini Anggota Freemasonry? - 3 (Tamat) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar