Masjid Langgar Tinggi. |
Data yang dihimpun pada pekan kedua Desember 2011 lalu menyebutkan, bangunan cagar budaya yang terancam ambruk di antaranya adalah empat unit masjid di kawasan Kota Tua yang masuk wilayah Kelurahan Pekojan dan Bandengan, Jakarta Barat. Yakni Masjid Langgar Tinggi yang dibangun pada 1829, Masjid Al Anshor yang dibangun pada 1648, Masjid Kampung Baru yang dibangun pada 1748, dan Masjid Jami Annawier yang dibangun pada 1760.
Menurut Ketua Komunitas Sahabat Kota Tua, Mansyur Amin, kondisi keempat masjid ini sangat memprihatinkan karena rusak parah. Di antara masjid-masjid itu ada yang tiang-tiangnya sudah lapuk dan keropos akibat dimakan rayap, dindingnya retak-retak, bocor di sana-sini akibat genting yang pecah-pecah dan eternit yang tidak utuh lagi, dan sebagainya.
“Yang mengkhawatirkan, meski kondisinya sudah demikian, warga masih saja menggunakan masjid-masjid itu. Padahal kemungkinan masjid itu bakal ambruk, bisa sangat mungkin dan dapat terjadi sewaktu-waktu. Apalagi karena Masjid Jami Annawier misalnya, itu terakhir direnovasi pada 2003. Setelah itu, menurut pengurusnya, tidak pernah lagi. Sedang untuk memperbaikinya sendiri, pengurus tidak punya dana karena sumbangan dari masyarakat sangat sedikit,” kata dia.
Selain banyaknya bangunan heritage yang terkesan sengaja tidak dirawat, ternyata, meski kasawan Kota Tua tercatat telah dua kali direvitalisasi, yakni pada 1973 dan 2008, dan pada 2010 lalu dimasukkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam daftar 15 Destination Management Organization (DMO), namun hingga kini masih banyak bangunan tua di kawasan seluas 846 hektar itu yang belum dijadikan sebagai cagar budaya. Meski memenuhi kriteria.
Dalam pasal 5 UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pemerintah menetapkan lima kriteria benda, bangunan, atau struktur yang dapat dijadikan sebagai Cagar Budaya. Di antaranya telah berusia lebih dari 50 tahun dan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Data yang dibeberkan Komunitas Sahabat Kota Tua menyebutkan, di kawasan Pekojan ada sebuah rumah yang menurut penghuninya telah berusia sekitar 100 tahun lebih.
“Rumah itu dibangun oleh keluarga Arab bernama Alatas, tapi sekarang ditempati sebuah keluarga Tionghoa. Kondisi rumah bergaya Belanda itu sangat memprihatin karena sebagian atapnya telah hilang dan sebagian ubinnya juga telah hilang,” jelas Mansyur.
Ketua Komunitas Sahabat Kota Tua ini mensinyalir, masih banyak rumah-rumah sejenis yang bernasib sama; belum dijadikan cagar budaya. “Karena itu saat ini kami sedang melakukan survey. Kami berharap, survey ini dapat menyelamatkan bangunan-bangunan itu dari kehancuran atau kepunahan,” katanya.
Pertanyaannya sekarang, apa yang dilakukan jajaran Pemprov DKI Jakarta saat dua kali melakukan revitalisasi? Bukankah program itu menyedot anggaran yang tidak sedikit? Dan mengapa pula ada bangunan cagar budaya yang kini kondisinya begitu memprihatinkan? Padahal pada APBD 2011 saja, anggaran Pemeliharaan Benda Cagar Budaya sekitar Rp197 juta.
Anggota DPRD DKI Jakarta Ashraf Ali mengatakan, ini merupakan dampak lemahnya kinerja pejabat yang bertanggung jawab atas pelestarian cagar budaya. Dulu, tanggung jawab ini diemban oleh Dinas Permuseuman dan Kebudayaan, namun setelah Dinas Permuseuman dihilangkan dan fungsinya dialihkan kepada Disparbud, maka tanggung jawab Disparbud lah yang kini harus membenahi semua persoalan itu.
“Saya berharap penanganan cagar budaya ke depan akan jauh lebih baik. Jika tidak, saya akan meminta agar anggaran Disparbud diaudit,” tegas politisi Golkar itu. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar