Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah membangunkan macan tidur. Pasalnya, meski masih berduka akibat letusan Gunung Merapi, warga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini diliputi amarah karena Presiden menuding tata pemerintahan di daerahnya bersifat monarki, dan sedang membuat undang-undang yang mengharuskan gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilukada.
Kemarahan warga DIY ini antara lain tercermin dari sikap para kepala dukuh se-DIY yang kontan merapatkan barisan dengan membentuk Paguyuban Dukuh se-DIY yang dinamakan 'Paguyuban Semar Sembogo'. Bahkan rencananya paguyuban itu akan menggelar kongres rakyat untuk menyikapi pernyataan Presiden.
Seperti dikutip Liputan6.com, Ketua Paguyuban ini, Sukiman Hadiwiyoyo, tegas mengatakan kalau Presiden ngotot bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Yogyakarta harus dilakukan melalui pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), pemilu itu akan diboikot.
"Kalau Pemilukada ini urusannya untuk pengisian gubernur dan wakil gubernur, desa tidak akan melaksanakan," tegasnya.
Tak hanya para kepala dukuh yang merapatkan barisan, para lurah dan kepala desa se-DIY juga bersikap sama.
Kemarahan warga ini bermula dari pernyataan Presiden SBY dalam sidang kabinet, bahwa di Indonesia tak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan kontitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Pernyataan ini mengisyaratkan, bahwa ke depan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta harus juga dilakukan melalui Pemilukada seperti di provinsi lain, bukan lagi melalui mekanisme pemilihan di DPRD seperti yang terjadi selama ini. Bahkan pernyataan itu ditindaklanjuti dengan melakukan kajian untuk pembuatan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Istimewa Yogyakarta yang direncanakan rampung pekan ini.
Pernyataan Presiden itu langsung ditanggapi Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan menyatakan, meski pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY melalui mekanisme di DPRD, namun tata pemerintahan di DIY tetap mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang lain yang terkait.
"Jadi saya tidak mengerti, mengapa tata pemerintahan di DIY disebut monarki. Apa karena Sultan yang menjadi gubernur?" katanya.
Gubernur DIY ini bahkan menyatakan siap mengundurkan diri dari jabatannya jika memang posisinya sebagai gubernur, dapat menghambat penataan DIY oleh pemerintah.
Sekretaris Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja) Aji Bandana mengakui, pernyataan Presiden itu menyakiti hati masyarakat Yogyakarta. Apalagi karena pada 2008,Presiden pernah menyebut Yogyakarta seperti ketoprak.
"Sudah saatnya masyarakat Yogya tidak hanya diam atas pernyataan-pernyataan Presiden," tegasnya.
Ketua Paguyuban Semar Sembogo, Sukiman Hadiwiyoyo, menambahkan, jika pemerintah mengabaikan keberatan warga Yogya, bukan hanya memboikut pemilukada yang akan dilakukan, tapi juga menggelar referendum.
"Tujuan referendum bukan untuk menentukan setuju atau tidak terhadap penetapan atau pemilihan gubernur, melainkan untuk menentukan apakah DIY tetap dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indinesia), atau keluar," tegasnya.
Ketua Gentaraja Sunyoto mengatakan hal yang sama. Ia meminta Presiden memahami historis Yogyakarta. "Kalau tidak mau dan pusat ngotot ingin pemilihan, ya, Yogyakarta merdhika wae," katanya.
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie menilai, tak ada masalah Yogyakarta menjadi daerah istimewa dengan sultan yang sekaligus menjadi gubernur. "Kalau kita membayangkan semua provinsi harus seragam, itu juga tidak tepat. Karena negara kita terlalu beraneka ragam. Yang penting wadah besarnya mutlak tidak boleh berubah, NKRI," jelas Jimly.
Saat ini pemerintah tengah mengkaji rencana pembuatan Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan DIY, dimana dalam RUU ini akan diatur bahwa gubernur dan wkil gubernur DIY dipilih langsung melalui pemilu kada. Rencananya, pengkajian itu akan rampung pekan ini.
Jumat, 23 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar