Tanpa disadari pemerintah maupun masyarakat Sumatera Barat, sejak lebih dari 100 tahun lalu telah tumbuh dan berkembang sebuah bahasa baru di lingkungan mereka, di luar bahasa yang selama ini telah dikenal, yakni bahasa Minangkabau, Mentawai, dan Mandailing. Bahasa baru tersebut dinamakan bahasa Tansi.
Seperti dikutip dari laman VIVAnews, Rabu (3/11/2010), bahasa baru ini ditemukan Elsa Putri Ermisah Syafril, seorang peneliti yang tengah meraih program doktor ilmu-ilmu Humaniora (Linguistik) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), dan diungkap saat ujian terbuka di Ruang Multimedia Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo UGM, Selasa (2/11/2010), dengan disertasi berjudul ‘Bahasa Tansi di Kota Sawahlunto’.
Di hadapan para penguji yang antara lain terdiri dari Dr. Ida Rochani Adi, S.U., Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., dan Dr. Amir Ma’ruf, M.Hum., Elsa yang lulus dengan predikat sangat memuaskan, menjelaskan, bahasa Tansi merupakan satu bahasa kreol (kaum buruh) dengan latar belakang perburuhan, dan berada di pedalaman. Temuan ini selain menjadikan bahasa Tansi sebagai bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman, juga membuka katup kemungkinan bahwa bahasa kreol di Indonesia bagian barat tidak identik dengan latar belakang perniagaan, dan berada di wilayah pesisiran.
Secara kualitatif (sejarah, sosial, dan budaya), bahasa Tansi adalah bahasa yang berasal dari kelompok sosial terbawah di dalam struktur sosial kolonial di Sawahlunto. Sementara secara teoretis, bahasa Tansi pada awalnya merupakan bahasa pigin, karena bahasa tersebut polygenetic, berasal dari campuran beberapa bahasa buruh tambang yang berasal dari berbagai etnis, seperti Minangkabau, Jawa, Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan Batak, dengan bahasa dasar bahasa Melayu, dan disisipi bahasa Belanda.
“Ini bisa dibuktikan dengan sejumlah contoh, seperti adanya penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih tua dari berbagai bahasa dalam bahasa Tansi secara umum,” imbuh peneliti berdarah Minang itu.
Sejalan dengan perkembangan waktu, bahasa Tansi di kota Sawahlunto terus digunakan selama lebih dari 100 tahun hingga keturunan berikutnya, karena perkawinan campur antarketurunan buruh tambang sebagai bahasa ibu dalam masyarakat pengguna bahasa tertentu. Namun, penggunaan bahasa Tansi pada saat sekarang telah mengalami perubahan ke arah yang lebih standar (dekreolisasi) dengan sangat cepat, yang dibuktikan dengan perubahan struktur bahasa.
“Untuk membuktikan hal ini, saya menggabungkan metode penelitian gabungan, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif, serta yang berkaitan dengan bidang kajian sosiolinguistik antropologis,” lanjut perempuan kelahiran Sawahlunto, 27 November 1977 ini.
Penelitian yang dilakukannya, menurut Elsa, secara khusus telah memunculkan kesadaran masyarakat Sawahlunto terhadap identitas mereka. Mereka terlibat aktif dan berpartisipasi untuk menemukan identitas tersebut, dan menemukan kenyataan bahwa mereka sebagai bagian masyarakat plural dan multietnis.
“Dengan adanya disertasi ini, saya berharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Sawahlunto, untuk pertama, bagaimana menyelamatkan eksistensi bahasa kreol Tansi dari kepunahan yang disebabkan oleh proses dekreolisasi atau perkembangan bahasa kreol ke arah bahasa yang lebih menempatkan bahasa Tansi sebagai bahasa kedua bagi masyarakat penuturnya; kedua, mengupayakan pemertahanan bahasa Tansi melalui kehadirannya dalam ragam tulis, seperti penulisan tonil dan naskah sejarah,” ujar Elsa.
“Di samping itu,” lanjutnya, “untuk melakukan penelitian lebih mendalam, khususnya tentang struktur bahasa kreol Tansi dengan melibatkan para linguis dan lembaga kebahasaan.”
Perempuan yang menyelesaikan studi S-1 di Universitas Andalas dan S-2 di Universitas Negeri Jakarta ini yakin, melalui penelitian linguistik yang melihat latar belakang sejarah, sosial, dan budaya masyarakat pengguna, tidak tertutup kemungkinan di masa depan khazanah bahasa yang ada di Indonesia saat ini akan akan kembali bertambah, karena Indonesia memiliki wilayah yang begitu luas dan memiliki begitu banyak etnis, dimana antaretnis yang satu dengan yang lain telah berbaur sejak puluhan, bahkan ratusan tahun lalu.
Senin, 28 Oktober 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar