Sumber Artikel Internet

Rabu, 15 Januari 2014

AS Diduga Motori Upaya Penggulingan Ahmadinejad

Demo oposisi Iran. (int)
Revolusi berantai pasca tergulingnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak, merambat hingga ke Iran. Amerika Serikat (AS) diduga berada di belakang aksi demo besar-besaran yang dilakukan oposisi Iran di Teheran, ibukota Iran, Senin (14/2/2011), yang menuntut agar Presiden Mahmoud Ahmadinejad turun dari jabatannya.

Seperti diberitakan VIVAnews, Selasa (15/2/2011), demo itu berbuntut bentrokan antara massa demonstran yang berjumlah puluhan ribu orang, dengan aparat keamanan yang bersenjata tameng, pentingan, dan gas air mata. Sedang para pendemo bertahan dengan, antara lain, membuat benteng dari tong-tong sampah.

"Kami mendukungmu, Moussavi," teriak para demonstran, menyatakan dukungan pada tokoh oposisi Mir Hossein Moussavi. Mereka juga meneriakkan; "Matilah diktator!" yang ditujukan pada Presiden Mahmoud Ahmadinejad.

Sebelumnya, pemerintah Iran sudah siaga karena mendapat informasi bahwa akan terjadi demo besar-besaran untuk menuntut presiden mundur seperti yang terjadi di Tunisia dan kemudian merembet ke Mesir, Yaman, dan Aljazair. Teheran pun dijaga ketat dan rumah-rumah para tokoh oposisi diblokir, termasuk rumah Mir Hossein Moussavi. Bahkan situs oposisi, Kaleme, jaringan telepon kabel dan layanan telepon seluler di wilayah sekitar rumah itu diputus, sehingga istri Moussavi, Zahra Rahnavard, terkurung.

Menurut Konspirasi.com, AS bermain di balik gerakan oposisi Iran ini. Indikasinya adalah adanya dua akun Twitter beralamat @USAdarFarsi dan @USAbilAraby yang pesan-pesannya berbahasa Persia, dan pesan-pesan itu muncul pada Minggu (13/2/2011) atau hanya sehari sebelum kaum oposisi Iran melakukan aksi. Situs ini bahkan dengan tegas menyebut siapa pemilik kedua akun itu, yakni Departemen Luar Negeri (Deplu) AS.

Situs ini mengungkapakan, kesuksesan AS menggerakkan rakyat Tunisia dan Mesir melalui aksi people power melalui Facebook dan Twitter membuat pemerintah Uncle Sam tersebut tetap menggunakan dunia maya untuk tujuannya. Pada salah satu dari kedua akun Twitter tersebut, pada Minggu (13/2/2011) terdapat tweet berbunyi begini; “Kami ingin bergabung dalam percakapan Anda.”

Lalu akun yang satunya menjawab ; “AS meminta Iran untuk memungkinkan orang untuk menikmati hak-hak universal yang sama untuk berkumpul secara damai, berdemonstrasi seperti di Kairo.”

Pekan sebelumnya Deplu juga meluncurkan Twitter feed dalam bahasa Arab.

“Ada percakapan nyata, bersemangat, dan menarik yang terjadi sekarang di seluruh dunia ini. Percakapan semakin mengambil tempat di Internet, dan Amerika ingin menjadi bagian dari itu,” kata Judith McHale, wakil menteri Negara untuk diplomasi publik dan urusan publik AS. “Kami ingin menjangkau orang-orang di mana mereka menghabiskan waktu mereka secara online untuk mendengarkan, untuk menyampaikan pandangan dan nilai-nilai AS, dan berinteraksi sementara kami bekerja untuk memajukan masa depan yang lebih baik dan lebih sejahtera.”

Posting Twitter Deplu AS itu mengawali demo yang berbuntut bentrokan di Teheran. Demo yang mencederai puluhan orang, dan dikabarkan juga menewaskan satu orang ini merupakan aksi protes anti-pemerintah terbesar pertama sejak Ahmadinejad terpilih kembali sebagai Presiden Iran pada Juni 2009.

Juru bicara Deplu AS Mike Hammer mengatakan, program Twitter pemerintahnya konsisten dengan diplomasi AS, tetapi menawarkan lebih banyak kontak langsung dengan warga Iran dalam upaya mereka untuk menggulingkan rezim Ahmadinejad.

“Kami ingin memastikan bahwa pandangan kita didengar oleh khalayak Iran, terutama kaum muda,” katanya. “Karena pemadaman media virtual dan pembatasan yang dipaksakan oleh pemerintah Iran, kami sedang mencari cara untuk memastikan posisi kami jelas untuk semua orang Iran.”

Zeynep Tufekci, seorang profesor sosiologi di University of Maryland-Baltimore County, mengatakan, pemberontakan yang digerakkan melalui dunia maya, baik melalui facebook, Twitter, maupun lainnya, secara politik adalah rapuh. Apalagi karena AS memiliki reputasi buruk di kawasan Timur Tengah, dan merupakan 'musuh' Iran.

“Saya tidak yakin itu masuk akal untuk mengatakan; ‘Kami adalah bagian dari sejarah Anda, biarkan kami bergabung dalam percakapan”. Ini seperti gorila 800-pon yang mungkin tidak memiliki efek dimaksudkan untuk mendukung demokrasi,” katanya.

Profesor studi media Fordham University Paul Levinson bahkan mengatakan, darah kehidupan Twitter adalah keaslian dan individualitas tweets.

"Departemen Luar Negeri harus sangat berhati-hati. Jika tweet ini tampil sebagai komunike, mereka akan melawan kekuatan fundamental Twitter, yaitu mendengar langsung dari orang. Ini adalah usaha berisiko. Dan Iran bisa mencela apapun tweet AS sebagai palsu,” tegasnya.

Mahmoud Ahmadinejad. (int)
Iran memang bukan Mesir yang merupakan sekutu AS maupun Israel. Kospirasi.com juga menulis, para pakar politik dan strategi AS dan Zionis menilai, tergulingnya Hosni Mubarak dari jabatan presiden Mesir sebagai kekalahan besar bagi kubu Liberal Demokrasi dan akan sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan mereka buat untuk negeri Seribu Menara itu.

Koran Israel Haaretz dalam sebuah artikelnya bahkan menulis tentang periode baru di Timur tengah yang sedang menemukan bentuknya, pasca tergulingnya Mubarak dan Ben Ali. Artikel itu menjelaskan tentang kerusuhan dan kekacauan politik saat rakyat yang tidak bersenjata berhasil menurunkan penguasa yang mereka benci. Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya di Dunia Arab. Revolusi Tunisia dan Mesir tak ubahnya bagai bunyi lonceng yang menunjukkan dimulainya periode baru Timur Tengah. Di periode ini rakyat bangkit karena ingin suaranya didengar dan diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Mereka menolak rezim-rezim despotik dan diktator yang hanya memperkuat kekuasaan dengan menerapkan undang-undang darurat militer atau meningkatkan pengamanan umum. Apa yang terjadi di Mesir benar-benar mengguncang para pakar, pemerhati bahkan para pemimpin dunia.

Koran cetakan Tel Aviv lebih lanjut menyebut masa depan politik Mesir sebagai negara boneka AS dan Israel, suram dan tidak menentu. “Masih terlalu dini untuk berbicara tentang rezim yang bakal berkuasa di Mesir, dan tentang siapakah yang bakal memimpin atau tentang bagaimana rezim baru akan terbentuk. Yang jelas, tentara dan gerakan Ikhwanul Muslimin menjadi alternatif dengan kans terbesar untuk memimpin Mesir. Sampai saat ini juga belum jelas apakah revolusi Mesir bakal merambah negara-negara lain dan mengancam kelanjutan kekuasaan para pemimpin di kawasan Timur Tengah.”

Haaretz tak lupa membahas tentang kebijakan dependen Hosni Mubarak kepada Rezim Zionis Israel. Artikel tadi menambahkan, “Sampai detik-detik akhir kekuasaannya Mubarak masih menjadikan keamanan dan stabilitas Israel sebagai motto kebijakannya. Israel sendiri memandang rezim Mubarak sebagai pilar strategis bagi eksistensinya.”

Loyalitas Mubarak kepada janji perdamaian dengan Israel dan kebijakannya yang membantu Israel dalam menciptakan batas teritorial bagi Israel yang secara perlahan semakin jelas, serta langkahnya yang menyuplai kebutuhan energi Tel Aviv telah membantu stabilitas Israel. Namun kini, dengan lengsernya kekuasaan Mubarak, Israel khawatir. Tel Aviv harus membiasakan diri dengan kondisi yang baru. Dengan perubahan kondisi, salah besar jika Israel bermain api dengan mencampuri urusan internal Mesir.

AS Diduga Motori Upaya Penggulingan Ahmadinejad Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar